Sabtu, 16 April 2011

Jagad Jawa Mengubur Borobudur?

Jagad Jawa Mengubur Borobudur?


Bila selama ini pesona kemegahan, keagungan dan estetika tata bangun Candi Borobudur yang menjadi titik kekaguman wisatawan, maka kini giliran kontroversi yang merebak menyoal pengelolaannya menyentak perhatian dunia. Apa gerangan yang menjadi muasalnya?
Bola salju permasalahan ini mulai bergulir pada pertengahan bulan Desember 2002 lalu, ketika Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Tengah, Pemerintah Daerah Kabupaten Magelang dan pengelola Taman Wisata Candi Borobudur, dengan kompak menggulirkan gagasan proyek Pasar Seni Jagad Jawa (PSJJ). Tujuannya adalah untuk menata kawasan Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) yang dinilai semakin kumuh dan tidak tertata, salah satunya oleh pedagang asongan dan lapak-lapak kaki lima yang makin menjamur. Secara umum, proyek tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki citra positif Borobudur di mata dunia, sekaligus untuk meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.
Lokasi yang dibidik untuk mewujudkan PSJJ adalah tanah seluas 3 hektar yang terletak beberapa ratus meter di sisi barat Candi Borobudur. Persisnya di dusun Kujon, di atas tanah kas desa Borobudur. Direncanakan di areal pasar seni tersebut akan dibangun sebuah mal berlantai tiga, lengkap dengan fasilitas umum seperti wartel, toilet, restoran dan 1500 unit toko untuk menampung pindahan pedagang dari kawasan TWCB. Sebagai sarana angkutan wisatawan dari PSJJ menuju Candi Borobudur dan sebaliknya, akan dibangun sebuah stasiun kereta api khusus yang diberi nama Stasiun Wira Wiri.
Di atas kertas rencana tersebut merupakan strategi pengelolaan kawasan wisata yang cukup menarik, dimana para stakeholder yakni pemerintah daerah, pengelola dan masyarakat setempat dan dunia pariwisata secara umum akan diuntungkan. Lantas kenapa langkah untuk mewujudkannya terganjal oleh kontroversi yang bahkan berlarut hingga kini?
Menelikung Makna, Menuai Protes
Seorang pakar pemerhati warisan budaya dari Semarang, Ir Pudjo Koeswhoro Juliarso MSA, menyebutkan bahwa makna Jagad Jawa adalah simbolisasi kesemestaan bhuwana, yakni adanya kesatuan kehidupan makrokosmos yang “amemangku jagad ing bhumi Jawa”. Sesuatu pemahaman yang menggambarkan kebesaran alam raya dan secara spiritual memerlukan keseimbangan lingkungan ekologis dengan keseimbangan kehidupan sosial-budaya. Sebuah kondisi hidup yang diharapkan dapat membawa kesejahteraan masyarakatnya. Dari nama proyeknya, tercermin niatan yang cukup luhur. Akan tetapi apakah demikian halnya pada tataran praktek?
Bila melihat prosedur yang ditempuh pelaksana proyek PSJJ yang kurang mengakomodasi aspirasi masyarakat sekitar, bisa dikatakan penggunaan nama Jagad Jawa adalah sebuah penelikungan makna. Banyak pihak yang meragukan terpenuhinya itikad untuk menyejahterakan masyarakat, pasalnya masyarakat sekitar sebagai salah satu stakeholder utama telah ditinggalkan dalam proses penggodogan konsep proyek. Alhasil, ketika usulan proyek ini terpublikasikan kontan menelorkan kontroversi yang ditingkahi dengan hujan protes dan aneka bentuk demonstrasi.
Pihak yang berkeberatan dengan proyek ini pun datang dari beragam kalangan dan dengan berbagai latar alasan. Pernyataan protes tertulis ataupun demonstrasi di jalanan tidak hanya dilakukan masyarakat sekitar dan pelaku wisata yang setiap hari mengais nafkah di kompleks Taman Wisata Candi Borobudur (TWCB) saja, namun juga dari kalangan seniman, pemerhati dan pegiat konservasi budaya yang tergabung dalam Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI), para arsitek dari Forum Arsitek Muda Indonesia (Forum AMI), masyarakat umum dan bahkan masyarakat dunia.
“Kami tidak terima dituding sebagai biang kesemerawutan Borobudur. Kami sudah berjualan sejak jauh sebelum didirikannya Taman Wisata Candi Borobudur,” ujar Basiyo, pedagang asongan yang juga tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Peduli Borobudur. Dalam salah satu demonstrasi yang digelar kelompok ini, mereka menyatakan penolakan terhadap PSJJ yang dinilai akan mempersempit ruang gerak pelaku wisata dan hanya akan memberatkan rakyat kecil di sekitar Candi Borobudur. “Lagi pula proyek tersebut tidak aspiratif karena tidak melibatkan kami-kami ini,” tambah Basiyo.
Lain lagi alasan yang dikemukakan oleh Marco Kusumawijaya dari Forum AMI. Marco berpendapat bahwa bangunan komersial seperti PSJJ akan mengacaukan dimensi tata ruang candi Borobudur. “Lokasi bakal PSJJ tersebut masih termasuk dalam medan sakral tata ruang mandala Candi Borobudur,” ujar pakar lingkungan binaan yang juga aktif dalam Jaringan pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI) ini. Masih menurut Marco, lokasi bakal PSJJ tepat berada di sisi barat Candi Borobudur yang merupakan sisi reflektif-meditatif. Pada sisi ini semua patung Budha mengambil sikap mendekapkan kedua tangannya, posisi yang memperlihatkan sikap reflektif-meditatif Budha.
Sebagai seorang arsitek, Marco juga menekankan Candi Borobudur mengandung prinsip pengalaman ruang yang tiada duanya di dunia. Tata bangunnya menjanjikan pengalaman ruang yang tak tergantikan oleh apapun, dan oleh sebab unsur ruang dalam arsitektur tidak dapat diajarkan tanpa mengalaminya, maka kelestarian dan keutuhan bangunan beserta keseluruhan tata ruangnya harus tetap terjaga. “Ruang itu sendiri adalah monumen yang juga harus dipertahankan. Karena hilangnya kesempatan mencecap pengalaman arsitektur secara utuh berarti kehilangan pengalaman spiritual yang kaya, bagi bangsa Indonesia maupun umat manusia,” pungkas Marco dengan tegas.
Unesco Mencela
Pernyataan menolak PSJJ juga disuarakan oleh lembaga internasional, semisal Unesco. “Kami tidak mendukung Jagad Jawa, karena saya nilai tidak menyelesaikan permasalahan. Hanya memindahkannya saja.” Demikian diantaranya komentar Phillips Delanghe, program specialist for culture Unesco, ketika bertemu dengan Tim Peduli Borobudur di Jakarta awal Februari lalu. Bahkan Delanghe, atas nama Unesco, telah melakukan audiensi pada menteri terkait dan lobi pada beberapa pribadi pengambil keputusan di tingkat pusat maupun daerah.
Delanghe juga telah mengirimkan laporan ke kantor pusat Unesco di Perancis, diantaranya sebagai rekomendasi untuk melakukan tekanan formal pada pemerintah Indonesia, apabila masukan-masukan Unesco Jakarta tidak dihiraukan. Bentuk tekanan, menurut Delanghe, bisa berupa ditariknya Candi Borobudur dari daftar World Heritage atau pengucilan finansial ataupun non-finansial minimal untuk Borobudur.
Ancaman ini tentu bukan main-main, karena Unesco adalah badan dunia PBB yang telah mengurusi restorasi dan konservasi Candi Borobudur sejak tahun 1973. Meskipun disebut-sebut kontrak Unesco dalam konservasi bakal berakhir pada bulan Juli 2003 ini, lembaga ini masih berkewajiban untuk melakukan pengawasan arah pengelolaan agar tetap berada pada alur konservasi.
Pengelolaan Partisipatif
Dalam pengelolaan kawasan wisata arkeologis, agaknya kita harus banyak berkaca pada negara-negara lain yang juga memiliki warisan budaya skala dunia. Salah satu langkah yang direkomendasikan oleh Bank Dunia, dan menjadi poin pertimbangan utama lembaga ini untuk mengucurkan bantuan finansial, adalah partisipasi masyarakat sekitar situs.
Senada dengan rekomendasi Bank Dunia, Pudjo Kusworo Juliarso menyarankan agar pemerintah daerah maupun pihak yang berwenang untuk mengelola kawasan Taman Wisata Candi Borobudur, ataupun obyek arkeologis bernilai sejarah lainnya yang dijadikan atraksi wisata, untuk mengutamakan pemberdayaan masyarakat setempat. Pelibatan komunitas sendiri diawali sejak gagasan muncul melalui proses penyerapan keinginan ideal masyarakat, baik dalam penyusunan program hingga diwujudkan melalui tindakan realistis.
Saat ini, pola kehidupan wisata di candi Borobudur sudah mulai membentuk simbiosa yang terajut dari peran masyarakat dalam pengelolaan kawasan wisata ini. Interaksi masyarakat dengan pelaku wisata internasional semakin menguat, semisal dalam bentuk penyediaan jasa layanan wisata maupun sarana akomodasi. Bentuk pengelolaan yang bersifat partisipatif, dari segenap stakeholder, akan saling menunjang dan menjadi sintesa atraksi wisata yang utuh dan alamiah. Kehidupan semacam inilah sebetulnya yang ingin disaksikan oleh para wisatawan dunia, bukan sesuatu yang diatur-atur, ditata, dipoles menjadi keindahan artifisial.
Untuk sementara, kemungkinan terkuburnya Borobudur oleh jaring kepentingan ekonomi dapat dielakkan. Dengan demikian, kita masih layak berharap candi Borobudur akan tetap menyuguhkan pesonanya dalam dimensi yang utuh dan menjadi warisan yang akan disyukuri oleh generasi-generasi yang akan datang.
Merentang Sejarah Borobudur
Borobudur adalah salah satu monumen Budha terbesar di dunia. Borobudur di bangun semasa Dinasti Syailendra (750-842 M), atau 300 tahun lebih dahulu dibandingkan kompleks Angkor Wat di Kamboja. Tidak banyak cerita yang bisa diungkap mengenai sejarah awal bangunan yang mengagumkan ini, kecuali diperkirakan pembangunannya melibatkan ribuan tenaga kerja untuk menata dan mengukir sekitar 60.000 m3 batu.
Struktur Candi Borobudur sebagai konstruksi masa lalu cukup mencengangkan. Bayangkan, batu yang dipergunakan sebagai pondasi saja mencapai 11.600 m3. Tinggi keseluruhan Borobudur tadinya 42 meter, namun setelah restorasi terakhir hanya tinggal 34,5 meter. Bangunan yang berdimensi 123 x 123 meter ini terdiri dari 10 tingkatan (Hhumtchambharabudara atau gunung puncak kebajikan dalam 10 tingkatan Bodhisatya). Pada dinding-dindingnya terdapat sejumlah 1.460 panel naratif yang menutupi permukaan seluas 1.900 m2 dan 1212 panel dekoratif pada permukaan seluas 600 m2. Sejumlah 432 patung Budha menghiasi sepanjang selasar dan 72 patung Budha lainnya ditempatkan dalam stupa. Ornamen yang berbentuk stupa mencapai 1.472 buah.
Candi Borobudur yang kita saksikan sekarang adalah hasil dari tiga pemugaran besar. Yang pertama dilakukan pada tahun 1814 oleh H.C. Cornelius berdasar perintah Sir Stanford Raffles, Gubernur Jendral Inggris di Hindia saat itu. Pohon dan semak yang menutupi bangunan candi dibersihkan, dan batu-batu candi dicopot utnuk dipasang ulang. Pembersihan tersebut dilanjutkan oleh Residen Kedu, C.L. Hartman pada tahun 1834-1835, namun kerusakan cukup parah terjadi pada panel-panel relief, sehingga pada tahun 1882 sempat muncul gagasan untuk menyimpan panel-panel relief di museum yang dibangun khusus untuk keperluan itu.
Penemuan pondasi candi oleh J.W. Lizerman pada tahun 1885 mendorong dimulainya pemugaran besar yang kedua pada tahun 1905-1910. Proyek restorasi kali ini dipimpin oleh N.J. Krom dan Th. Van Erp. Mereka juga berhasil membuat dokumentasi lengkap berupa monograf yang berisi foto-foto keseluruhan relief dan patung, termasuk pada bagian dasar yang tersembunyi.
Menanggapi permintaan pemerintah Indonesia pada tahun 1967, UNESCO melakukan proyek restorasi besar yang ketiga dan dilaksanakan hingga tahun 1983. Kontrak pemeliharaan selama 20 tahun juga dicekal oleh UNESCO dan baru akan berakhir pada bulan Juli tahun 2003 ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar