Sabtu, 16 April 2011

Bata Alternatif

Selama delapan tahun bergelut dengan sampah, H Sudarno ST selalu diremehkan teman-temannya. Tak jarang pula ia dianggap ‘gila’, karena berkeinginan menyulap limbah domestik menjadi barang-barang yang berguna. Menerima kenyataan seperti itu, pria yang karib disapa Darno ini mengaku tidak patah arang. Ia justru semakin terlecut semangatnya. Tentu, jerih-payah Darno akhirnya benar-benar membuahkan hasil. Sebuah penghargaan prestisius, Kalpataru, diberikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara, Jakarta, pada awal Juni 2007. Kegigihan Darno menyelamatkan lingkungan, kini telah membuahkan bukti konkret. Ada empat produk Darno yang menjadi “barang-barang berharga tepat guna” dari limbah domestik itu. Pertama, batem (batu tengahnya macem-macem, berupa sampah) sebagai alternatif batu bata atau batako. Rumah yang ia tinggali dibuat dari batem ini. Kedua, ia juga memproduksi Manis Bara Sudarno (MBS), yaitu cairan menghilang bau busuk; ketiga, tongnopos (Tong Sudarno Kompos), bermanfaat sebagai pupuk tanaman; dan keempat, lumpur ajaib, yaitu bongkahan penyaring limbah beracun. Kini, Darno masih melakukan penelitiannya untuk memproduksi kerikil berbahan sampah plastik, serta pasir dari bahan sampah styrofoam. Kisah pergumulannya dengan sampah yang bagi banyak orang dianggap menjijikkan dan kotor itu diawali Darno pada 1999. Kala itu, pria yang memiliki laboratorium mini di rumahnya ini masih bertugas sebagai staf Dinas Perumahan dan Kesehatan Lingkungan. Di kantor dinas itu, ia dipercaya mengolah limbah domistik dengan cara dibakar. Dengan tugas itu, ia mempelajari tupoksi (tugas pokok dan fungsi) yang berhubungan dengan tanggung jawab kerjanya. Setelah memahami tupoksi kerja, pria kelahiran Caruban, Madiun, Jawa Timur –persisnya 10 Juli 1954– itu mulai melakukan penelitian secara sederhana terhadap sampah di tempat pembuangan akhir (TPA) Keputih, Surabaya Timur. Melihat sampah yang menggunung dan menebar bau busuk di area TPA Keputih –yang juga mengundang protes keras dari warga yang bermukim di sekitar TPA– itu Darno lantas mengaku ‘takabur’. “Saat itu keluar sombong saya. Dalam hati saya mengatakan, ‘Saya ini orang desa, lulusan ITS, masak membakar sampah saja tidak bisa’,” kenang anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Djojo Kasidjan dan ibu Saginah itu, kepada Republika. Saat itu, di TPA Keputih ada empat unit mesin pembakar sampah yang dibeli pemkot dari Jerman. Namun, mesin-mesin itu nyaris jarang terpakai karena biaya operasionalnya terlalu tinggi. Dari situlah, Darno mulai memutar otak untuk mencoba melakukan pembakaran sampah sendiri di rumahnya kawasan Kutisari Utama II C, Surabaya. Saat kali pertama membakar sampah, ia menggunakan dandang (alat memanak nasi). “Satu minggu melakukan uji coba, alat dandang itu kemudian dicuri pemulung,” tutur Darno. Staf Tata Usaha (TU) Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surabaya itu lalu membuat dandang lagi dengan ukuran lebih besar. Namun, uji coba ini gagal. Dandang meledak saat dipakai untuk membakar sampah, belum sampai tiga menit. Sungguh pun begitu, ia tidak kendor bereksperimen. Ia membuat tempat pembakar sampah dari drum yang dilengkapi peralatan blower, shower, blander. Ketika alat ini mulai bisa membakar sampah tanpa asap, ia mendapat protes para tetangga. Kegiataan Darno dianggap mengganggu lingkungan rumahnya. “Ya, akhirnya saya meminta maaf kepada tetangga yang merasa terganggu, dan saat itu pula saya langsung menghentikan kegiatan pembakaran sampah itu,” ujar pria yang selalu berpenampilan sederhana dan ramah ini. Pengganti batu bata Darno seperti memperoleh hikmah dari peristiwa itu. Ia pun mengalihkan uji cobanya membuat batu bata dari bahan sampah yang kemudian ia namakan batem. Batem itu, bagian tengahnya berupa 30 jenis sampah, baik organik maupun anorganik (sampah sulit membusuk): Plastik, pecahan kaca, karet, styrofoam, aluminium, pecahan keramik, dan sebagainya, dicampur dengan sampah organik berupa kulit durian, kacang, manggis, kulit telur, kulit kerang, dan lainnya. Kemudian dibalut dengan semen yang dicampur pasir. Semuanya dipadatkan dengan mesin. Kini, batem produksi suami Salamah ini telah banyak dipesan orang. Meski hanya mampu memproduksi 400 batem per hari, ia mengaku sangat senang, karena bisa mempekerjakan delapan orang pekerja dengan penghasilan cukup lumayan. Ayah empat anak –Sri Astuti, Sri Rahayu, Setyo Budi Prasojo, dan Handika Plumasasmuka– ini menjual batem dengan harga Rp 1.200 per biji berukuran standar, 22x15x10 cm (berat 5 kg). Ihwal kekuatan daya beban batem, Darmo menjamin lebih kuat daripada batu bata biasa atau batako. “Kalau batem saya, daya kekuatan bebannya tujuh ton, batu bata lainnya hanya satu ton,” ujar Darno. Batem ini telah memperoleh rekomendasi resmi dari Jurusan Teknik Sipil ITS sebagai alternatif pengganti batu bata. Penggemar buku-buku tasawuf ini berharap ada investor yang mau bekerja sama memproduksi batem secara massal. “Tetapi, kerja saya ini yang utama bukan mencari keuntungan materi. Terpenting adalah bagaimana masalah lingkungan, khususnya sampah ini bisa diatasi,” ujar alumnus Teknik Sipil ITS itu. Lantas “ilmu” apa yang membuat Darno mampu mengolah sampah-sampah itu? Dengan lugasnya ia mengakui selama ini ilmu yang diperolehnya awalnya hanya coba-coba saja. Darno mengaku tidak pernah mempunyai referensi khusus tentang batem, misalnya. “Saya tidak pernah belajar dengan siapa pun atau membaca lewat buku literatur. Semuanya merupakan petunjuk dari Allah SWT,” tutur anak pejuang dan tokoh Partai Masyumi (Majelis Muslimin Indonesia) Caruban, Madiun, ini dengan polosnya. Ia meyakini langkahnya dalam mengolah sampah, meski ia harus menerima cemoohan. “Rumah yang saya bangun dengan batem pun disebut sebagai rumah bau sampah,” ujar Darno yang mengaku tak perlu marah atas segala cemoohan kepadanya. n m anis fathoni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar